Selama ini, kita menganggap wajah sebagai jendela emosi. Mula-mula ada gejolak emosi dalam jiwa kita, kemudian mengungkapkannya melalui wajah. Rupanya proses itu juga bisa bekerja dengan arah berlawanan, Sehingga kita bukan hanya tersenyum karena bahagia, melainkan juga bisa berbahagia karena tersenyum. Wajah bukan hanya sebagai monitor penampil yang men-display perasaan dari CPU hati. Wajah adalah mitra yang sejajar dalam satu proses emosi.
Adalah Paul Ekman dan Wallace Freisen yang dibantu oleh Robert Levenson, mengumpulkan sejumlah relawan yang dibagi dalam dua kelompok. Separuh diminta untuk mencoba mengingat kembali pengalaman masing-masing yang sangat berat (menyedihkan). Separuh yang lain hanya diminta untuk memeragakan mimik wajah yang sesuai dengan emosi-emosi menyusahkan semacam marah, sedih, takut. Kedua kelompok ini dhubungkan dengan sensor pengukut laju denyut jantung dan temperatur tubuh.
Hasilnya?
Tertampil dalam monitor, kedua kelompok mengalami kenaikan laju denyut jantung yang sama dan kenaikan suhu yang persis. Gejala fisiologis mereka tidak berbeda : yang mengenang pengalaman pahit menjadi sedih, begitu pula yang sekedar ‘berakting’ sedih dengan otot-otot wajahnya. Kelompok kedua memulai dengan ekspresi wajah yang berat, kemudian efek fisiologisnya menjalar hingga ke hati.
Nah, beberapa waktu kemudian beberapa orang Psikolog Jerman mencoba hal senada. Mereka meminta dua kelompok relawan untuk mengamati gambar-gambar kartun. Kelompok pertama harus melakukannya sambil menggigit ballpoint dengan gigi (yang memaksa mereka harus tersenyum karena kontraksi otot risorius dan zygomatic major), dan kelompok kedua menggunakan bibirnya untuk menjepit ballpoint (yang membuat mereka mustahil tersenyum karena kedua otot itu terkunci).
Penelitian ini berkesimpulan sama. Yang menggigit ballpoint dengan gigi (sehingga terpaksa tersenyum) jauh lebih merasa bahwa kartun-kartun itu lucu. Mereka memulainya dengan senyum di wajah, lalu emosinya tergerak untuk merasakan kejenakaan. Sementara itu, para relawan yang menjepit ballpoint dengan bibir (sehingga sulit tersenyum) merasa kartun itu biasa saja.
Subhanallah, ternyata kita mampu menaklukkan emosi kita!
Perasaan tidak boleh mengatur kita, karena kitalah yang akan mengatur perasaan
Sumber : “Jalan Cinta Para Pejuang” – Salim A. Fillah
0 komentar:
Posting Komentar